Tuesday, June 21, 2016

Here, Still Standing

Part 1: Smile

Pinjami aku telapak tanganmu
kan kugaris sebagian perjalanan kita di masa depan – falafu



Samar-samar bunyi kresek tas disebelah mengganggu konsentrasi gadis pemilik mata belok yang tengah fokus menjawab kalimat demi kalimat yang sulit dipahaminya. Gadis tersebut memalingkan wajahnya ke kanan, ke arah si pemilik suara. Suara kecil seolah lembut namun tetap terdengar berat dari seberang mencuri-curi kesempatan.
“Ren, liah HP kamu dong, udah aku kirim jawaban nomor 4 dan 8. Baru itu yang bisa, dapat dari Icha.” Si cowok yang selalu memakai jam tangan hitam old style itu pun menimpali disela kesempatannya.
“Ok” jawab si cewek sambil mengacungkan jempolnya sigap dan perlahan. 3 detik kemudian tangannya lincah membuka smartphone dari saku, mencari chat si pemilik suara tadi, Room. Tangannya sempat terhenti sesaat, menatap layar smartphone tanpa bergeming kemudian tersenyum samar. Ia kembali menyentuh layar smartphonenya mencari chat yang dituju. Setelah menemukannya ia pun langsung mendownload foto yang berisikan jawaban nomor 4 dan 8. Menit-menit selanjutnya krasak krusuk dengan lembut mulai beredar dari satu kursi ke kursi lainnya hingga seorang wanita paruh baya yang memiliki tinggi badan sekitar 165 cm tersebut bangun dari kursi terdepan, Bu Eren.
“Baiklah, waktu habis. Kumpulkan semua kertas kalian.” Tanpa menunggu hitungan detik berikutnya, Bu Eren segera menghampiri satu persatu kursi dan menarik lincah kertas berisikan aneka jawaban dari mahasiswanya. Wajah-wajah mereka hanya tertegun untuk beberapa saat kemudian melirik kanan kiri, entah apa yang dicari mereka, mungkin secarik harapan dalam bentuk jawaban dari pertanyaan. Namun ketika kertas-kertas itu sudah berada ditangan Bu Eren, harapan hanya tinggal khayalan saja. Usai Bu Eren mengumpulkan semua kertas jawaban ia kembali ke meja terdepan yang terletak tepat ditengah-tengah. Kemudian membereskan barang-barangnya dan melangkah pergi meninggalkan ruangan. Sebagian mahasiswa membaur keluar, sisanya masih duduk dikursi masing-masing.
‘Good luck ujiannya, Kak’ chat yang membuat gadis dengan sapaan akrab Ren tersebut tersenyum. Namanya Reni, Renila Misica. Selain bermata belok, wajahnya memiliki garis keturunan Minang. Ayah dan Ibunya asli orang Minang, namun karena harus mengikuti rutinitas pekerjaan Ayahnya yang sering keluar kota, mereka sering berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya. Jadi tidak heran jika Reni mengoleksi selusin rapor dengan nama sekolah yang berbeda-beda.
Tangannya lincah menyentuh layar tombol qwerty-nya. ‘Iya, baru selesai ini. Makasih ya.Send. Reni masih tersenyum manis dibalik pintu kelas, ia baru saja keluar dan membaca beberapa chat yang belum sempat dibacanya. Salah satu chat yang membuat hatinya sedikit mekar. Masih dengan senyum-senyum yang tidak bisa ditutupi, tepukan pundak dari arah belakang membuyarkan sedikit senyumnya, namun masih menyisakan bingkisan mekar diujung bibirnya.
“Nah lo ngapain senyam senyum sendiri? Hmm liat HP, pantesan.” Ekor mata si penepuk pundak begitu lancang mengamati dan membuat Reni mati kutu karena ketahuan.
“Eh, enggak kok. Apaan sih” tidak ingin di bully Reni mengalihkan pembicaraan. “Lapar, kantin yuk. Yang lain mana?” matanya seolah-olah mencari ke dalam ruangan tadi, mencoba menghilangkan rasa gugup dan penyesalan karena kepergok oleh Icha, teman wanitanya yang selalu ingin memiliki tubuh ideal. Sebenarnya tubuh Icha termasuk ideal, ia masih bisa memakai ukuran baju M. Hobinya seperti kebanyakan hobi orang pada umumnya traveling. Namun ia memiliki hobi unik lainnnya yaitu setiap makan ia selalu menimbang-nimbang makanan yang memiliki kalori tinggi. Jika menurutnya kalori dalam makanan tersebut sudah cukup, maka ia akan berhenti makan, begitulah Icha. Mimpinya menjadi perfectionist seperti Puteri Indonesia.
“Itu mereka” sambung Reni menemukan segubrak temannya yang akan menjadi rekor penerbangan ke kantin terdekat. Dari jarak beberapa meter, kelihatan mereka masih sibuk berbicara sedangkan kedua gadis yang berada dipintu luar, Reni dan Icha menunggu langkah mereka mendekat. Samar-samar terdengar perbincangan mereka mengenai soal-soal ujian yang baru saja selesai mereka lewati.
“Kantin, lapar.” Kalimat singkat yang begitu antusias memotong pembicaraan mereka, seolah tidak ingin membahas apapun lagi tentang soal-soal ujian yang baru saja dilalui. Mungkin ia sedikit menyimpan marah pada beberapa pertanyaan yang membuatnya geram, nyaris bisa menjawab namun konsep yang ia pahami masih minim.
“Yuk, sama. Aku juga belum sarapan dari pagi.” Ujar Sarah yang sejak tadi begitu semangat berbicara tentang soal ujian. Kini ia memilih lebih semangat untuk memikirkan perutnya yang sejak tadi berteriak ingin diberikan makanan. Mereka pun berjalan sambil membahas hal-hal penting sisi wanita, ya wanita. Reni, Icha, Sarah, Cika, dan Room. Yang terakhir, Room hampir selalu menjadi satu-satunya manusia terganteng di tengah-tengah mereka. Sedangkan Cika, si gadis imut bergolongan darah B yang suka mengoleksi jenis musik western ini bawaannya teramat santai. Ia jarang berkoar-koar dihadapan orang banyak apalagi marah. Berbeda dengan  Sarah, wanita yang memiliki tinggi hingga 170 cm ini terkadang suka terlihat konyol dan tidak karuan meskipun dihadapan orang banyak.
Mereka terus berjalan sambil sesekali tertawa. Beberapa saling merangkul manja dan memainkan gadgetnya. Namun Reni tersenyum samar dibalik tawanya.


Be continue…

No comments:

Post a Comment