Part 1:
Smile
Pinjami
aku telapak tanganmu
Samar-samar bunyi kresek
tas disebelah mengganggu konsentrasi gadis pemilik mata belok yang tengah fokus
menjawab kalimat demi kalimat yang sulit dipahaminya. Gadis tersebut
memalingkan wajahnya ke kanan, ke arah si pemilik suara. Suara kecil seolah
lembut namun tetap terdengar berat dari seberang mencuri-curi kesempatan.
“Ren, liah HP kamu dong,
udah aku kirim jawaban nomor 4 dan 8. Baru itu yang bisa, dapat dari Icha.” Si
cowok yang selalu memakai jam tangan hitam old
style itu pun menimpali disela kesempatannya.
“Ok” jawab si cewek
sambil mengacungkan jempolnya sigap dan perlahan. 3 detik kemudian tangannya
lincah membuka smartphone dari saku, mencari chat si pemilik suara tadi, Room.
Tangannya sempat terhenti sesaat, menatap layar smartphone tanpa bergeming
kemudian tersenyum samar. Ia kembali menyentuh layar smartphonenya mencari chat
yang dituju. Setelah menemukannya ia pun langsung mendownload foto yang berisikan jawaban nomor 4 dan 8. Menit-menit
selanjutnya krasak krusuk dengan lembut mulai beredar dari satu kursi ke kursi
lainnya hingga seorang wanita paruh baya yang memiliki tinggi badan sekitar 165
cm tersebut bangun dari kursi terdepan, Bu Eren.
“Baiklah, waktu habis.
Kumpulkan semua kertas kalian.” Tanpa menunggu hitungan detik berikutnya, Bu
Eren segera menghampiri satu persatu kursi dan menarik lincah kertas berisikan
aneka jawaban dari mahasiswanya. Wajah-wajah mereka hanya tertegun untuk
beberapa saat kemudian melirik kanan kiri, entah apa yang dicari mereka,
mungkin secarik harapan dalam bentuk jawaban dari pertanyaan. Namun ketika
kertas-kertas itu sudah berada ditangan Bu Eren, harapan hanya tinggal khayalan
saja. Usai Bu Eren mengumpulkan semua kertas jawaban ia kembali ke meja
terdepan yang terletak tepat ditengah-tengah. Kemudian membereskan
barang-barangnya dan melangkah pergi meninggalkan ruangan. Sebagian mahasiswa
membaur keluar, sisanya masih duduk dikursi masing-masing.
‘Good luck ujiannya, Kak’ chat yang membuat gadis
dengan sapaan akrab Ren tersebut tersenyum. Namanya Reni, Renila Misica. Selain
bermata belok, wajahnya memiliki garis keturunan Minang. Ayah dan Ibunya asli
orang Minang, namun karena harus mengikuti rutinitas pekerjaan Ayahnya yang
sering keluar kota, mereka sering berpindah-pindah dari satu kota ke kota
lainnya. Jadi tidak heran jika Reni mengoleksi selusin rapor dengan nama
sekolah yang berbeda-beda.
Tangannya lincah menyentuh
layar tombol qwerty-nya. ‘Iya, baru
selesai ini. Makasih ya.’ Send.
Reni masih tersenyum manis dibalik pintu kelas, ia baru saja keluar dan membaca
beberapa chat yang belum sempat dibacanya. Salah satu chat yang membuat hatinya
sedikit mekar. Masih dengan senyum-senyum yang tidak bisa ditutupi, tepukan
pundak dari arah belakang membuyarkan sedikit senyumnya, namun masih menyisakan
bingkisan mekar diujung bibirnya.
“Nah lo ngapain senyam
senyum sendiri? Hmm liat HP, pantesan.” Ekor mata si penepuk pundak begitu lancang
mengamati dan membuat Reni mati kutu karena ketahuan.
“Eh, enggak kok. Apaan
sih” tidak ingin di bully Reni
mengalihkan pembicaraan. “Lapar, kantin yuk. Yang lain mana?” matanya seolah-olah
mencari ke dalam ruangan tadi, mencoba menghilangkan rasa gugup dan penyesalan
karena kepergok oleh Icha, teman wanitanya yang selalu ingin memiliki tubuh
ideal. Sebenarnya tubuh Icha termasuk ideal, ia masih bisa memakai ukuran baju
M. Hobinya seperti kebanyakan hobi orang pada umumnya traveling. Namun ia memiliki hobi unik lainnnya yaitu setiap makan
ia selalu menimbang-nimbang makanan yang memiliki kalori tinggi. Jika
menurutnya kalori dalam makanan tersebut sudah cukup, maka ia akan berhenti
makan, begitulah Icha. Mimpinya menjadi perfectionist
seperti Puteri Indonesia.
“Itu mereka” sambung Reni
menemukan segubrak temannya yang akan menjadi rekor penerbangan ke kantin
terdekat. Dari jarak beberapa meter, kelihatan mereka masih sibuk berbicara
sedangkan kedua gadis yang berada dipintu luar, Reni dan Icha menunggu langkah
mereka mendekat. Samar-samar terdengar perbincangan mereka mengenai soal-soal
ujian yang baru saja selesai mereka lewati.
“Kantin, lapar.” Kalimat
singkat yang begitu antusias memotong pembicaraan mereka, seolah tidak ingin
membahas apapun lagi tentang soal-soal ujian yang baru saja dilalui. Mungkin ia
sedikit menyimpan marah pada beberapa pertanyaan yang membuatnya geram, nyaris
bisa menjawab namun konsep yang ia pahami masih minim.
“Yuk, sama. Aku juga
belum sarapan dari pagi.” Ujar Sarah yang sejak tadi begitu semangat berbicara
tentang soal ujian. Kini ia memilih lebih semangat untuk memikirkan perutnya
yang sejak tadi berteriak ingin diberikan makanan. Mereka pun berjalan sambil
membahas hal-hal penting sisi wanita, ya wanita. Reni, Icha, Sarah, Cika, dan Room.
Yang terakhir, Room hampir selalu menjadi satu-satunya manusia terganteng di
tengah-tengah mereka. Sedangkan Cika, si gadis imut bergolongan darah B yang
suka mengoleksi jenis musik western
ini bawaannya teramat santai. Ia jarang berkoar-koar dihadapan orang banyak
apalagi marah. Berbeda dengan Sarah, wanita
yang memiliki tinggi hingga 170 cm ini terkadang suka terlihat konyol dan tidak
karuan meskipun dihadapan orang banyak.
Mereka terus berjalan
sambil sesekali tertawa. Beberapa saling merangkul manja dan memainkan gadgetnya. Namun Reni tersenyum samar
dibalik tawanya.
Be
continue…
No comments:
Post a Comment